Beberapa hari lalu saya ingat dengan perkataan salah satu kakak tingkat saya yang sekarang tinggal di Bandung.
Dia berkata "Barangsiapa datang ke Samarinda dan kemudian minum air Sungai Mahakam maka dia akan kembali lagi." Sebegitu
besarkah mistis Sungai Mahakam sehingga airnya bisa menjadi ‘pelet’
bagi seseorang untuk kemudian rindu setelah beberapa saat
meninggalkannya?.
Sebenarnya tak perlu
seseorang meminum air Sungai Mahakam untuk kemudian tertarik dan terus
datang ke Samarinda. Daerah atau kawasan yang dialiri oleh Sungai
Mahakam mulai dari hulu hingga hilir semenjak semula telah menjadi
magnit yang memancing orang terus berdatangan. Samarinda berdiri dan
berkembang karena bermula dari kedatangan orang-orang seberang, orang
dari luar propinsi yang kini disebut sebagai Kalimantan Timur dan
kemudian sebagian menjadi Kalimantan Utara.
Kalau M.A.W Brouwer
dalam sebuah catatannya menuliskan bahwa Tanah Pasundan diciptakan oleh
Tuhan tatkala tersenyum, sehingga pemandangan alam indah dan
orang-orangnya (terutama puteri-puterinya) berwajah elok, ramah dan baik
tutur katanya. Maka daerah sepanjang aliran Sungai Mahakam diciptakan
tatkala Tuhan melimpahkan berkah tak terkira. Daerah sepanjang aliran
Sungai Mahakam dianugerahi kekayaan alam, baik yang berada di dalamnya
maupun mahkluk di permukaan dengan keanekaragaman hayati yang tak
terkira.
Jadi kekayaan inilah
yang merupakan ‘pelet’ sesungguhnya, yang membuat orang terus datang dan
kembali datang ke Samarinda dan kemudian menyebar seantero Kalimantan
Timur. Samarinda yang persis berada (bahkan terbelah oleh aliran Sungai
Mahakam) menyebut diri sebagai Kota Tepian ini adalah tempat pertemuan.
Berbagai suku bangsa, bertemu dan berinteraksi di kota ini menjadikan
Kota Samarinda adalah kota yang penuh warna.
Cerita atau mitos
tentang air Sungai Mahakam tak lepas dari sejarah berdirinya Kota
Samarinda. Waktu itu daerah kini disebut sebagai Samarinda adalah bagian
dari Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Daerah kosong tak berpenghuni
dan hanya menjadi tempat perladangan dan persawahan. Datanglah
sekelompok masyarakat dari Bugis Wajo yang menyingkir karena tidak mau
tunduk pada perjanjian Bongaya. Perjanjian yang muncul karena kekalahan
kesultanan Gowa atas serangan Belanda.
Kedatangan kelompok
masyarakat Bugis Wajo yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona,
disambut baik oleh Sultan Kutai. Kepada mereka diberikan lahan untuk
pemukiman di sekitar daerah Muara Sungai Karang Mumus (Selili Seberang).
Namun bermukim disini menimbulkan kesulitan terutama untuk berperahu
karena daerahnya berarus balik (pusaran) dan banyak kotoran di sungai.
Dan kemudian diberikan
lahan lain di daerah yang kini dikenal sebagai Samarinda Seberang.
Daerah itu dulu disebut sebagai Tanah Rendah, dan kemudian dinamakan
sebagai Sama Rendah, bukan semata karena daratannya hampir rata dengan
permukaan air Sungai Mahakam, melainkan juga cermin dari kebijakan yang
dipertuan Sultan Kutai Ing Martadipura, yang memandang setiap orang baik
asli maupun pendatang adalah berderajat sama.
Tafsir filosofis lain
dari Sama Rendah (yang kemudian diucapkan menjadi Samarinda) adalah
ketika masyarakat Bugis Wajo bermukim untuk pertama kali, mereka
membangun perkampungan diatas sungai dengan rumah-rumah panggung. Rumah
yang tingginya sama sehingga tidak mencerminkan adanya perbedaan antara
kaum yang disebut sebagai bangsawan dan kaum masyarakat biasa. Baik
bangsawan maupun orang biasa tinggal dalam rumah yang model dan wujudnya
sama dengan demikian menunjukkan kesamaan derajat.
Atas jasa baik Sultan
itu maka kelompok masyarakat yang bermukim di Samarinda pada masa awal
itu menukar dengan kesediaan untuk menjadi benteng dan pelindung bagi
Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Warga dan pemimpinnya akan menjaga dan
memerangi para perompak dan musuh-musuh lainnya yang mengancam
Kesultanan Kutai Ing Martadipura.
Arus ‘pendatang’ yang
ekploitatif dimulai dari kedatangan Belanda yang kemudian membuat
perjanjian dengan Sultan Kutai Ing Martadipura. Belanda kemudian
menguasai beberapa kawasan dan mendapat ijin penguasaan tanah di
beberapa tempat, baik di Samarinda maupun di Mahakam bagian hulu. Watak
eksploitatif Belanda dimulai dari diberikannya konsesi pertambangan
untuk Migas dan Batubara. Ekpoitasi Migas di mulai dari daerah yang
dikenal sebagai Delta Mahakam dan kemudian di kota yang kini dikenal
sebagai Balikpapan. Mulai dari jaman Belanda itu ekploitasi Migas terus
berlangsung, tidak putus-putus hingga sekarang.
Sementara konsesi Batubara pada jaman Belanda tidak berlangsung lama. Ekploitasi Batubara
yang dimaksudkan untuk memasok kebutuhan industri gula pasir milik
Belanda di Jawa kemudian terhenti. Industri gula di Jawa memasuki masa
paceklik pada masa itu. Lahan pertambangan Batubara pertama dulu berada
di Batu Panggal yang kini dikenal sebagai Loa Bakung.
Pada masa itu
komoditas kayu gelondongan belum terlalu menjadi perhatian, meski
kemudian tercatat adanya industri pengergajian kayu dengan mesin uap
pertama di Samarinda oleh investor Belanda. Dan juga beroperasinya
beberapa perusahaan dari Jepang yang konon tak seijin dari Sultan Kutai.
Era ekploitasi kayu gelondongan dimulai dari sekitar tahun 70-an yang
dikenal sebagai jaman ‘Banjir Kap’. Pemimpin daerah diberi wewenang
untuk memberi ijin pemotongan kayu di hutan. Dan penebang kemudian
menghanyutkan kayu gelondongan melalui Sungai Mahakam untuk kemudian
dijual langsung pada pembeli dari luar negeri yang menunggu di kapal
pengangkutnya.
Aktifitas penebangan
kayu ini kembali menarik rombongan orang dari luar daerah untuk
berbondong datang ke Samarinda. Namun hal ini tak berlangsung lama
karena muncul kebijakan baru, yaitu industrialisasi kayu gelondongan.
Hutan tidak boleh ditebang sembarang oleh masyarakat, hak penebangan
hutan diserahkan kepada badan usaha. Dan munculah apa yang disebut
sebagai HPH. Dan dimasa itu, masa pemerintahan orde baru, hak penguasaan
hutan ini banyak diserahkan kepada kroni-kroni Suharto.
Samarinda kemudian
berkembang menjadi pusat industri pengolahan kayu, di sepanjang pinggir
Sungai Mahakam muncul deretan pabrik pengolahan kayu. Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja, sebagian besar didatangkan dari luar daerah.
Muncul pusat-pusat pemukiman baru yang tumbuh karena industri kayu.
Sungai Mahakam pada waktu itu ibarat lautan kayu. Sungai Mahakam yang
merupakan urat nadi kehidupan, mulai ‘diperkosa’ pada masa-masa ini.
Sungai tak lagi dipermuliakan melainkan justru dinistakan karena menahan
beban yang berlebihan. Daerah-daerah sepanjang aliran sungai yang
digunduli membawa limpasan air dikala hujan membawa serta bahan endapan.
Konon kabarnya di
tahun 80-an, Pesut masih mudah dijumpai, bermain-main di sepanjang
Sungai Mahakam yang melewati Kota Tepian, namun kemudian perlahan sirna.
Dan kini yang bisa dilihat hanyalah patung pesut yang merana di
seberang depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Banjirpun mulai
dirasakan akibat hilangnya daerah-daerah tangkapan air di bagian hulu
Sungai Mahakam. Benar bahwa dulu banjir adalah konsekwensi dari pasang
surutnya sungai Mahakam, sehingga pemukiman di pinggir sungai selalu
berupa rumah panggung dengan jalan penghubung berupa jembatan panjang
dari kayu. Namun kualitas dan kuantitas kejadian banjir semakin
meningkat seiring pembabatan kayu yang serampangan di bagian hulu Sungai
Mahakam.
Paska otonomi daerah,
era kejayaan industri kayu meredup dengan pesat. Banyak perusahaan
gulung tikar karena tak lagi mempunyai pasokan bahan mentah. Dan
kemudian hutan yang sudah digunduli itu kemudian digali, dikeruk dan
diaduk-aduk tanahnya karena batubara. Indutri berganti dari kayu ke
batubara. Wajah sepanjang aliran Sungai Mahakam berganti dari deretan
pabrik pengolah kayu lapis menjadi deretan konveyor untuk mengalirkan
butiran batubara ke ponton pengangkutnya.
Tak ada lagi deretan
panjang kayu gelondongan (rakit) yang ditarik oleh perahu menuju pabrik
pengolahan kayu. Kini yang berseliweran di sepanjang aliran Sungai
Mahakam adalah ponton-ponton pengangkut ribuan ton batubara. Dari
kejauhan terlihat mirip gunung hitam yang berjalan pelan.
Booming penambangan
batubara kembali mendatangkan rombongan orang dari luar daerah. Dulu
yang datang adalah para penebang, kini yang datang adalah kaum penggali.
Dan Sungai Mahakam makin merana, bukan karena menahan beban lalu lalang
ponton batubara yang tiada henti. Bukit-bukit yang selama ini menahan
sejenak air yang ditumpahkan dari langit kini telah diratakan. Alhasil
di kala hujan air bak ditumpahkan secara langsung ke badan aliran Sungai
Mahakam. Tentu saja badan sungai nan lebar itu tak mampu menampungnya
untuk kemudian segera mengalirkan ke laut. Pembabatan hutan dan
pembongkaran lahan untuk pertambangan ibarat kubur bagi Sungai Mahakam,
sebab semua itu menghasilkan barang endapan yang kemudian dengan cepat
mendangkalkan kedalaman Sungai Mahakam.
Daya tampung Sungai
Mahakam yang semakin berkurang, sementara volume air yang masuk semakin
meningkat cepat membuat wajah Samarinda sekarang ini identik dengan
banjir. Banjir tak lagi terjadi sisi kanan kiri Sungai Mahakam melainkan
juga daerah-daerah yang jauh dari badan Sungai Mahakam. Samarinda
bermetamorfosa, dari kota tepian sungai menjadi kota air karena genangan
air di kala musim hujan semakin dalam dan semakin meluas.
Jika dulu tafsir
Samarinda adalah Sama Rendah bernada egaliter, kesamaan derajat. Kini
lebih populer sebagai daratan Samarinda, sama rendah dengan permukaan
Sungai Mahakam. Sebuah tafsir untuk melakukan pemakluman bahwa wajarlah
kalau Samarinda selalu terkena banjir di musim penghujan.
Dan mistifikasi air
Sungai Mahakampun semakin luntur, tak banyak lagi yang menyebut air
Sungai Mahakam sebagai magnit yang mampu menarik kembali orang untuk
datang ke Samarinda kembali setelah meminumnya. Karena barangsiapa yang
kini meminum air Sungai Mahakam mungkin saja akan kembali masuk rumah
sakit, atau bahkan kembali ke pangkuan Tuhan Yang Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar