Senin, 13 Mei 2013

Hantu romusha di Bukit Suharto

Hantu Romusha di Bukit Soeharto

Cerita ini adalah cerita yang  pernah dialami oleh Pak Solikan, seorang mantan pekerja kontraktor  pembuatan jalan yang menghubungkan kota Balikpapan ke Samarinda, tahun 1975.
Ketika itu badan jalan tanah baru saja menembus daerah yang disebut Bukit Suharto. Para pekerja “Projakal“ (Proyek Jalan Kalimantan) umumnya dari Samarinda dan Balikpapan. Mereka tinggal di pos-pos kerja yang dibangun tiap tiga sampai lima kilometer tepi jalan tersebut. Tiap pos dihuni lebih dari dua puluh orang.
“Ketika kami pekerja bisa membuat tembus dari ujung arah Balikpapan dan arah Samarinda, kami semua  merasa gembira. Perusahaan juga melakukan selamatan di tengah jalan tembus tersebut secara sederhana dan kecil kecilan,” cerita Pak Solikan. Pekerja diistirahatkan sambil memasak daging Rusa hasil hasil buruan penduduk yang dibeli oleh pihak perusahaan. Setelah dibacakan doa selamat, pekerja makan sepuasnya sambil menikmati hari libur yang diliburkan oleh perusahaan selama dua hari.

Sebelum bernama Bukit Soeharto, kawasan itu adalah sebuah hutan rimba yang cukup lebat dengan  pohon pohon besar. Karenanya banyak satwa seperti kijang, pelanduk (kancil), babi bahkan sampai banteng hutan berkeliaran, walaupun para pekerja berada disekitar mereka.
Pada sore dan malam hari, di hutan itu masih terdengar suara berbagai satwa malam, seperti suara burung pungguk atau burung hantu. Penduduk sekitar Samboja ada yang mengingatkan kalau di hutan tersebut, selain memang banyak satwa liar juga ada daerah daerah angker yang penuh misteri. Hal ini dibenarkan pula oleh masyarakat Desa Loa Janan yang berdiam di tepi Sungai Mahakam atau pinggiran daerah Bukit Soeharto yang ketiika itu dikenal sebagai daerah kilometer empat puluh atau sekarang - kalau tidak salah - telah menjadi desa yang bernama “Batuah”.
Daerah-daerah yang disebut angker tadi bukan hanya karena disana ada beberapa jenis binatang buas jadi-jadian seperti harimau atau hantu-hantu hutan yang sering mengganggu jika ada orang yang memasuki hutan tersebut. Tetapi juga ada hal-hal aneh yang bisa dialami oleh siapapun yang berada disana.

Korbannya sering ditakut-takuti bahkan ada yang hilang tak pernah ditemukan walau telah dicari selama berbulan-bulan. Kalau juga ditemukan, si korban tak jarang dalam keadaan linglung atau setengah gila, bahkan ada yang mati penasaran. Memang tak pernah ditemukan ada korban yang mati dengan tercabik cabik akibat binatang buas. Kebanyakan korban ditemukan dalam keadaan sudah tak  mengenal dirinya sendiri.
Para pekerja jalan pun ada yang menjadi korban, bahkan tewas di hutan tersebut. Namun korban para pekerja jalan tersebut kebanyakan akibbat terserang penyakit Malaria Tropika, atau badan bengkak atau penyakit kuning yang katanya terkena bisa ular hutan. Namun demikian tak satupun diantara para pekerja mengalami gangguan jiwa atau berhenti karena takut dengan keadaan alam atau cerita cerita seram tentang hutan-hutan sepanjang jalan Samarinda dan Balikpapan.

“Namun pada suatu ketika ada kejadian aneh yang saya alami,” kata Pak Solikan yang kini telah berusia sekitar 75 tahun dan tinggal di Samboja, ikut dengan menantunya.
Peristiwanya memang aneh, tapi dialaminya secara sadar. Ketika itu dia telah ditinggalkan oleh teman-teman sekerjanya pulang lebih dahulu ke pemondokan mereka yang memang tak seberapa jauh dari tempat kerja. Pak Solikan tertinggal karena membuang ’hajat’ di anak sungai.
Saat selesai dia lalu naik ke jalan poros, menuju kearah pemondokan yang jaraknya kurang lebih dua kilometer. Waktu itu hari sudah agak mulai remang remang gelap sedikit melewati waktu senja. Mungkin waktu itu persis saatnya solat magrib. Namun karena sudah terbiasa, Pak Solikan tak merasakan apa-apa. Apalagi takut. Sering Pak Solikan sebelum pulang terlebih dahulu memeriksa atau memasang jebakan seperti jerat atau lainnya untuk menangkap hewan hutan yang bisa dimakan. Karenanya dia sering pulang malam hari baru sampai ke pemondokan.

Diantara keremangan yang masih tidak terlalu gelap dari arah depan terlihat oleh Solikan beberapa orang berjalan menuju arah berlawanan jalan dengannya. Sejenak Solikan tak merasa curiga apapun. Bahkan dia duduk pada sebuah batu di pinggir jalan sambil menggiling tembakau rokok dengan maksud mau merokok dulu.
Ternyata orang yang semakin dekat dengannya berjumlah sepuluh orang. Enam diantaranya memikul  peti-peti besi dengan baju lusuh, bahkan ada yang compang- camping. Sedang empat orang lainnya berpakaian warna krem koki seragam tentara Jepang, lengkap dengan senjata dan bayonet terhunus berjalan mengiringi keenam orang yang membawa peti.
Sesampainya di depan Pak Solikan dua diantara empat tentara Jepang tersebut berhenti sambil mengarahkan senjatanya ke arah Pak Solikan sambil berbahasa Jepang yang tak dimengerti Solikan. Si Jepang rupanya paham kalau Solikan tak memahami maksudnya. Dengan isyarat dia menyuruh Solikan mengikuti mereka dengan menodong nodongkan senjata yang dibawanya.  Solikan menjadi ketakutan dan mau tidak mau terpaksa berjalan mengikuti arah yang ditunjuk si Jepang .
Sepanjang perjalanan Solikan dan rombongan tak ada yang berbicara. Mereka lalu memasuki hutan yang ada jalan setapaknya. Walau hari gelap mereka terus berjalan naik turun lembah, hingga pada akhirnya sampai ke suatu tempat yang agak lapang. Disini mereka berhenti yang lalu diperintah menggali lubang. Salah seorang dari enam orang yang mengangkut peti berbicara setengah berbisik pada pak Solikan yang mengatakan kalau mereka orang orang Jawa yang dijadikan “Romusha“ oleh tentara Jepang.

Solikan bertanya dalam bahasa Jawa, apa yang ada di dalam peti yang mereka pikul. Oleh orang tadi mengatakan tak tahu. Tetapi mungkin barang berharga yang akan disembunyikan di dalam tanah. “Biasanya Mas, kalau sudah begini, mungkin kami mati di sini,” kata si orang tadi sambil berbisik.
“Lho, kenapa?“ tanya Solikan. “ Kami ini kan saksi yang tahu akan harta yang dipendam disini, jadi kalau kami masih hidup dan mereka kalah berperang tentu hanya kamilah yang mengetahui apa yang kami kubur. Untuk tak terbongkar rahasia ini, biasanya kami dibunuh mereka”.

“Lalu bagaimana kalian, bisakah kalian menyelamatkan diri?“ tanya Solikan, berbisik sambil melirik Jepang yang berjaga dengan senjata yang terarah kepada para pekerja yang menggali lubang. “Tipis rasanya kami bisa selamat Mas. Tetapi kami juga tidak mau mati sia-sia. Mas lihat saja nanti jika mereka benar benar membantai kami. Untuk itu jika terjadi sesuatu, usahakan Mas melarikan diri, sekuat mungkin kami berusaha melakukan perlawanan,” kata si orang Romusha tersebut dengan pandangan penuh harap.
Kemudian dia berkata lagi; “ Mas, jika terjadi sesuatu atas diri kami, tolonglah Mas ingat tempat ini. Beritahu penduduk dan ambillah kerangka tubuh kami serta kuburkanlah kami sebagaimana layaknya. Soal harta yang ada di peti-peti tersebut Mas ambil saja atau terserah pada Mas”.

Untuk itu Solikan hanya mengangguk diantara rasa kacau dan bingung dengan apa yang dialaminya. Ada rasa tidak percaya, tetapi dia dalam keadaan sadar dan apa yang dihadapinya adalah suatu kenyataan. 
Benar  apa yang dikatakan oleh si Romusha. Usai mereka menggali lubang dan memasukkan peti-peti tersebut ke dalam lubang yang digali, mereka disuruh tetap di dalam lubang yang kemudian secara serentak keempat serdadu Jepang tadi menembaki para romusha tersebut berkali-kali. Terlihat seketika beberapa romusha tersebut terjungkal menggelepar. Namun diantara Romusha ini ada yang mampu bertahan dan melemparkan sesuatu yang tak lain adalah sebuah granat tangan  kearah orang-orang Jepang tersebut.
Orang orang Jepang tak menyadari akan hal itu. Mereka hanya dapat terkesima sejenak kemudian terjadi ledakan yang membuat keempat orang tentara Jepang tersebut mengelepar bahkan ada yang juga terjungkal ke dalam lubang, sedang yang lainnya hancur berkeping ada yang terpisah tangan dan kepala mereka.

Melihat situasi yang mengerikan tersebut Pak Solikan sesuai pesan Romusha yang berbicara dengannya, secepat mungkin membuang diri kearah semak dan berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat tersebut. Solikan terus berlari tak tentu arah sehingga pada suatu tempat dia kehabisan tenaga dan jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Teman-teman sekerjanya kuatir. Mereka lalu pergi mencari Solikan dan baru ditemukan  di bawah sebatang pohon kayu besar dalam keadaan tak sadar. Karenanya Solikan lalu digotong dibawa pulang kepemondokan.
Setelah sadar, Solikan lalu bercerita dengan apa yang dialaminya. Dia dan kelompok pekerjanya lalu menyusuri jalan-jalan yang diceritakan Solikan. Namun hingga tengah hari lokasi yang dicari tak ditemukan. Yang jelas daerahnya benar-benar di daerah pertengahan di sekitar gunung yang sekarang ada tower Telkom yang  dikiri kanannya merupakan lembah berhutan lebat.
Usaha pencarian lokasi tersebut kembali diulang oleh Solikan dan beberapa kawannya setelah jalan sudah selesai dan beraspal, yaitu sekitar tahun 1978. Namun bagaimanapun upaya mencari tempat tersebut tetap saja sia-sia.
Ternyata pengalaman Solikan ini ada pula yang membenarkan. Katanya mereka pernah melihat waktu malam hari ada beberapa orang memikul peti dan dikawal oleh tentara Jepang di jalur jalan Bukit Soeharto. Nah, bagi yang penasaran silakan mencoba bermalam di Bukit Soeharto. Barangkali bertemu Romusha dan memberi petunjuk di mana harta karun terpendam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar