Senin, 13 Mei 2013

Air Mahakam 'Pelet' Samarinda

Beberapa hari lalu saya ingat dengan perkataan salah satu kakak tingkat saya yang sekarang tinggal di Bandung. 
Dia berkata "Barangsiapa datang ke Samarinda dan kemudian minum air Sungai Mahakam maka dia akan kembali lagi." Sebegitu besarkah mistis Sungai Mahakam sehingga airnya bisa menjadi ‘pelet’ bagi seseorang untuk kemudian rindu setelah beberapa saat meninggalkannya?.

Sebenarnya tak perlu seseorang meminum air Sungai Mahakam untuk kemudian tertarik dan terus datang ke Samarinda. Daerah atau kawasan yang dialiri oleh Sungai Mahakam mulai dari hulu hingga hilir semenjak semula telah menjadi magnit yang memancing orang terus berdatangan. Samarinda berdiri dan berkembang karena bermula dari kedatangan orang-orang seberang, orang dari luar propinsi yang kini disebut sebagai Kalimantan Timur dan kemudian sebagian menjadi Kalimantan Utara.

Kalau M.A.W Brouwer dalam sebuah catatannya menuliskan bahwa Tanah Pasundan diciptakan oleh Tuhan tatkala tersenyum, sehingga pemandangan alam indah dan orang-orangnya (terutama puteri-puterinya) berwajah elok, ramah dan baik tutur katanya. Maka daerah sepanjang aliran Sungai Mahakam diciptakan tatkala Tuhan melimpahkan berkah tak terkira. Daerah sepanjang aliran Sungai Mahakam dianugerahi kekayaan alam, baik yang berada di dalamnya maupun mahkluk di permukaan dengan keanekaragaman hayati yang tak terkira.

Jadi kekayaan inilah yang merupakan ‘pelet’ sesungguhnya, yang membuat orang terus datang dan kembali datang ke Samarinda dan kemudian menyebar seantero Kalimantan Timur. Samarinda yang persis berada (bahkan terbelah oleh aliran Sungai Mahakam) menyebut diri sebagai Kota Tepian ini adalah tempat pertemuan. Berbagai suku bangsa, bertemu dan berinteraksi di kota ini menjadikan Kota Samarinda adalah kota yang penuh warna.

Cerita atau mitos tentang air Sungai Mahakam tak lepas dari sejarah berdirinya Kota Samarinda. Waktu itu daerah kini disebut sebagai Samarinda adalah bagian dari Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Daerah kosong tak berpenghuni dan hanya menjadi tempat perladangan dan persawahan. Datanglah sekelompok masyarakat dari Bugis Wajo yang menyingkir karena tidak mau tunduk pada perjanjian Bongaya. Perjanjian yang muncul karena kekalahan kesultanan Gowa atas serangan Belanda.

Kedatangan kelompok masyarakat Bugis Wajo yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona, disambut baik oleh Sultan Kutai. Kepada mereka diberikan lahan untuk pemukiman di sekitar daerah Muara Sungai Karang Mumus (Selili Seberang). Namun bermukim disini menimbulkan kesulitan terutama untuk berperahu karena daerahnya berarus balik (pusaran) dan banyak kotoran di sungai.
Dan kemudian diberikan lahan lain di daerah yang kini dikenal sebagai Samarinda Seberang. Daerah itu dulu disebut sebagai Tanah Rendah, dan kemudian dinamakan sebagai Sama Rendah, bukan semata karena daratannya hampir rata dengan permukaan air Sungai Mahakam, melainkan juga cermin dari kebijakan yang dipertuan Sultan Kutai Ing Martadipura, yang memandang setiap orang baik asli maupun pendatang adalah berderajat sama.
Tafsir filosofis lain dari Sama Rendah (yang kemudian diucapkan menjadi Samarinda) adalah ketika masyarakat Bugis Wajo bermukim untuk pertama kali, mereka membangun perkampungan diatas sungai dengan rumah-rumah panggung. Rumah yang tingginya sama sehingga tidak mencerminkan adanya perbedaan antara kaum yang disebut sebagai bangsawan dan kaum masyarakat biasa. Baik bangsawan maupun orang biasa tinggal dalam rumah yang model dan wujudnya sama dengan demikian menunjukkan kesamaan derajat.
Atas jasa baik Sultan itu maka kelompok masyarakat yang bermukim di Samarinda pada masa awal itu menukar dengan kesediaan untuk menjadi benteng dan pelindung bagi Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Warga dan pemimpinnya akan menjaga dan memerangi para perompak dan musuh-musuh lainnya yang mengancam Kesultanan Kutai Ing Martadipura.

Arus ‘pendatang’ yang ekploitatif dimulai dari kedatangan Belanda yang kemudian membuat perjanjian dengan Sultan Kutai Ing Martadipura. Belanda kemudian menguasai beberapa kawasan dan mendapat ijin penguasaan tanah di beberapa tempat, baik di Samarinda maupun di Mahakam bagian hulu. Watak eksploitatif Belanda dimulai dari diberikannya konsesi pertambangan untuk Migas dan Batubara. Ekpoitasi Migas di mulai dari daerah yang dikenal sebagai Delta Mahakam dan kemudian di kota yang kini dikenal sebagai Balikpapan. Mulai dari jaman Belanda itu ekploitasi Migas terus berlangsung, tidak putus-putus hingga sekarang.

Sementara konsesi Batubara pada jaman Belanda tidak berlangsung lama. Ekploitasi Batubara yang dimaksudkan untuk memasok kebutuhan industri gula pasir milik Belanda di Jawa kemudian terhenti. Industri gula di Jawa memasuki masa paceklik pada masa itu. Lahan pertambangan Batubara pertama dulu berada di Batu Panggal yang kini dikenal sebagai Loa Bakung.

Pada masa itu komoditas kayu gelondongan belum terlalu menjadi perhatian, meski kemudian tercatat adanya industri pengergajian kayu dengan mesin uap pertama di Samarinda oleh investor Belanda. Dan juga beroperasinya beberapa perusahaan dari Jepang yang konon tak seijin dari Sultan Kutai. Era ekploitasi kayu gelondongan dimulai dari sekitar tahun 70-an yang dikenal sebagai jaman ‘Banjir Kap’. Pemimpin daerah diberi wewenang untuk memberi ijin pemotongan kayu di hutan. Dan penebang kemudian menghanyutkan kayu gelondongan melalui Sungai Mahakam untuk kemudian dijual langsung pada pembeli dari luar negeri yang menunggu di kapal pengangkutnya.

Aktifitas penebangan kayu ini kembali menarik rombongan orang dari luar daerah untuk berbondong datang ke Samarinda. Namun hal ini tak berlangsung lama karena muncul kebijakan baru, yaitu industrialisasi kayu gelondongan. Hutan tidak boleh ditebang sembarang oleh masyarakat, hak penebangan hutan diserahkan kepada badan usaha. Dan munculah apa yang disebut sebagai HPH. Dan dimasa itu, masa pemerintahan orde baru, hak penguasaan hutan ini banyak diserahkan kepada kroni-kroni Suharto.

Samarinda kemudian berkembang menjadi pusat industri pengolahan kayu, di sepanjang pinggir Sungai Mahakam muncul deretan pabrik pengolahan kayu. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, sebagian besar didatangkan dari luar daerah. Muncul pusat-pusat pemukiman baru yang tumbuh karena industri kayu. Sungai Mahakam pada waktu itu ibarat lautan kayu. Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi kehidupan, mulai ‘diperkosa’ pada masa-masa ini. Sungai tak lagi dipermuliakan melainkan justru dinistakan karena menahan beban yang berlebihan. Daerah-daerah sepanjang aliran sungai yang digunduli membawa limpasan air dikala hujan membawa serta bahan endapan.

Konon kabarnya di tahun 80-an, Pesut masih mudah dijumpai, bermain-main di sepanjang Sungai Mahakam yang melewati Kota Tepian, namun kemudian perlahan sirna. Dan kini yang bisa dilihat hanyalah patung pesut yang merana di seberang depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Banjirpun mulai dirasakan akibat hilangnya daerah-daerah tangkapan air di bagian hulu Sungai Mahakam. Benar bahwa dulu banjir adalah konsekwensi dari pasang surutnya sungai Mahakam, sehingga pemukiman di pinggir sungai selalu berupa rumah panggung dengan jalan penghubung berupa jembatan panjang dari kayu. Namun kualitas dan kuantitas kejadian banjir semakin meningkat seiring pembabatan kayu yang serampangan di bagian hulu Sungai Mahakam.

Paska otonomi daerah, era kejayaan industri kayu meredup dengan pesat. Banyak perusahaan gulung tikar karena tak lagi mempunyai pasokan bahan mentah. Dan kemudian hutan yang sudah digunduli itu kemudian digali, dikeruk dan diaduk-aduk tanahnya karena batubara. Indutri berganti dari kayu ke batubara. Wajah sepanjang aliran Sungai Mahakam berganti dari deretan pabrik pengolah kayu lapis menjadi deretan konveyor untuk mengalirkan butiran batubara ke ponton pengangkutnya.

Tak ada lagi deretan panjang kayu gelondongan (rakit) yang ditarik oleh perahu menuju pabrik pengolahan kayu. Kini yang berseliweran di sepanjang aliran Sungai Mahakam adalah ponton-ponton pengangkut ribuan ton batubara. Dari kejauhan terlihat mirip gunung hitam yang berjalan pelan.
Booming penambangan batubara kembali mendatangkan rombongan orang dari luar daerah. Dulu yang datang adalah para penebang, kini yang datang adalah kaum penggali. Dan Sungai Mahakam makin merana, bukan karena menahan beban lalu lalang ponton batubara yang tiada henti. Bukit-bukit yang selama ini menahan sejenak air yang ditumpahkan dari langit kini telah diratakan. Alhasil di kala hujan air bak ditumpahkan secara langsung ke badan aliran Sungai Mahakam. Tentu saja badan sungai nan lebar itu tak mampu menampungnya untuk kemudian segera mengalirkan ke laut. Pembabatan hutan dan pembongkaran lahan untuk pertambangan ibarat kubur bagi Sungai Mahakam, sebab semua itu menghasilkan barang endapan yang kemudian dengan cepat mendangkalkan kedalaman Sungai Mahakam.

Daya tampung Sungai Mahakam yang semakin berkurang, sementara volume air yang masuk semakin meningkat cepat membuat wajah Samarinda sekarang ini identik dengan banjir. Banjir tak lagi terjadi sisi kanan kiri Sungai Mahakam melainkan juga daerah-daerah yang jauh dari badan Sungai Mahakam. Samarinda bermetamorfosa, dari kota tepian sungai menjadi kota air karena genangan air di kala musim hujan semakin dalam dan semakin meluas.

Jika dulu tafsir Samarinda adalah Sama Rendah bernada egaliter, kesamaan derajat. Kini lebih populer sebagai daratan Samarinda, sama rendah dengan permukaan Sungai Mahakam. Sebuah tafsir untuk melakukan pemakluman bahwa wajarlah kalau Samarinda selalu terkena banjir di musim penghujan.

Dan mistifikasi air Sungai Mahakampun semakin luntur, tak banyak lagi yang menyebut air Sungai Mahakam sebagai magnit yang mampu menarik kembali orang untuk datang ke Samarinda kembali setelah meminumnya. Karena barangsiapa yang kini meminum air Sungai Mahakam mungkin saja akan kembali masuk rumah sakit, atau bahkan kembali ke pangkuan Tuhan Yang Kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar